Konsep kerasulan nabi ternyata Rasyid memahami khataman nabiyyin adalah penyempurna nabi bukan nabi terakhir. Bahkan, Muhammad itu bukan nabi terakhir sebab sampai kapan pun akan tetap ada,” kata Sekretaris Umum MUI Khataman Nabiyyin menurut Para Ulama Kebanyakan orang menganggap bahwa orang-orang Ahmadi tidak percaya kepada Nabi Muhammadsaw itu sebagai khatamun nabiyyin. Hal ini adalah keliru, sebagaimana pendiri Jemaat Ahmadiyah sendiri mengemukakan berkenaan dengan hal ini bahwa “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa kami beriman kepada Allah sebagai Tuhan kami dan kami beriman kepada Muhammadsaw sebagai nabi kami dan kami beriman bahwa beliau itu benar-benar khatamun nabiyyin.” Tuhfatu Baghdad, hal. 23 Kata khaatam mempunyai arti yang banyak. Sebuah kamus terkenal di kalangan Muslim Indonesia, yaitu “Al-Munawwir”, menyebutkan bahwa arti khaatam sebagai cincin, stempel, penutup, dan akhir bagi kata khatam. Dan ini juga ada dalam buku “40 Masalah Agama”, pada jilid II, cet. 2000, hal. 79, karya KH. Sirajuddin Abbas. Perlu diketahui bahwa ayat yang menyebutkan khatamun nabiyyin hanya ada dalam QS. Al-Ahzab ayat 40. Dan kita tahu latar belakang atau asbabun nuzul turunya ayat ini yakni klarifikasi dari Allah Ta’ala atas kecaman orang-orang Quraisy yang menuduh bahwa beliausaw menikahi seorang janda dari Zaid yang merupakan anak angkat beliausaw sendiri. Penafsiran ayat tersebut akan menjadi sesuai dengan latar belakang turunnya ayat apabila diartikan sebagai kata yang relevan/sesuai dengan pujian kepada beliau. Perlu juga diketahui bahwa kata khatam apabila disandarkan atau digabungkan dengan kata jamak selalu mengandung arti sempurna, mulia, afdal, dan paripurna. Dengan demikian, arti dari kata khatamun nabiyyin adalah nabi yang paling sempurna/mulia, berikut beberapa contoh kata khatam jika disandarkan dengan kata jamak. Khatamus Syu’ara Penyair yang mulia Khatamul Auliya Wali yang mulia Khatamul Muhajirin Orang berhijrah yang mulia Khatamul Muhaditsin Ahli hadits yang mulia Semuanya mengandung arti ter/paling sempurna atau mulia. Kemudian untuk lebih jelasnya kita akan melihat beberapa pendapat dari para ulama dan lain-lain berkenaan khatamun nabiyyin. Hadhrat Mulla Ali Al-Qori berkata “Khatamun nabiyyin berarti bahwa tidak akan datang lagi sembarang nabi yang memansukhkan membatalkan agama Islam dan yang bukan berasal dari umat beliau.” Al-Maudhu’at lil-Qariy, hal. 59 Hadhrat As-Sayyid Abdul Karim Al-Jaelani berkata “Kenabian yang mengandung syariat baru sudah terputus dan Muhammadsawsudah menjadi khatamun nabiyyin, karena beliau sudah membawa syariat yang sempurna dan tidak ada seorang nabi yang terdahulu pun telah membawanya.” Al-Insanul Kamil, juz I, hal. 98 “Katakanlah bahwa Muhammadsawitu khatamun nabiyyin, aka tetapi janganlah kamu mengatakan bahwa tidak ada sembarang nabi sesudah beliausaw.” Tafsirul Ad-Darul Mansur, juz V, hal. 204
Artidari khataman Nabiyyin. Dikompilasi dari berbagai tulas, hasil korespondensi di internet. (Rasulullah s.a.w.) adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” (lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi). 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul

Umat Islam, tanpa kecuali, beriman dan berkeyakinan tanpa ragu-ragu, bahwa Nabi Suci Muhammad adalah khâtamun Nabiyyîn. Akan tetapi arti dan tafsirnya berbeda pendapat. Frase khâtamun-nabiyyîn termaktub dalam Quran Suci 3340. Frase ini terdiri dari dua kata, yaitu khâtam dan an-nabiyyin artinya nabi-nabi. Kata khâtam berasal dari akar kata khatama, yakhtumu, khatman makna aslinya mencap, memeterai, menyegel, menyudahi, mensahkan atau mencetakkan pada suatu barang artinya cincin meterai atau cincin stempel, segel atau bagian terakhir dari sutau barang, seperti dalam ungkapan khâtamul-qaum selalu berarti kaum yang terakhir-âkhiruhum Lane & Tajud’Arus; kata dalam ayat tersebut dapat dibaca khâtam atau khâtim artinya segel atau bagian terakhir. Jadi kata khâtaman-nabiyyîn artinya 1 penutup nabi-nabi; 2 meterai sekalian nabi, dan 3 segel penutup para nabi. Penutup nabi-nabi. Arti pertama ini antara lain digunakan oleh Al-Quran dan Tafsirnya Departemen Agama RI dan para mufassir umumnya maksudnya, sesudah Nabi Suci Muhammad saw “Tak ada Nabi lagi setelah beliau” yang diangkat oleh Allah, karena pada halaman lain diterangkan akan datangnya para nabi terdahulu, yakni nabi-nabi yang pengangkatannya sebelum Nabi Suci Muhammad saw diutus 570-632 M, seperti Nabiyullah Isa ibn Maryam dari bangsa Israel. Banyak para ulama yang meyakini Nabi Isa as akan datang atau turun ke dunia pada zaman akhir nanti sebagai tanda akan terjadinya Kiamat; beliau sekarang menurut Majelis Ulama Indonesia MUI dalam Penjelasan Fatwa MUI 2005 masih hidup di langit seperti yang diyakini oleh umat Kristen. Keyakinan ini dijustifikasi dengan ayat-ayat Quran Suci, antara lain ayat 4158 yang tafsirnya sebagai berikut “Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Nabi Isa as itu diangkat atas perintah Allah oleh keempat malaikat ke langit ketiga dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali diakhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw pada saat umat Islam berada dalam keadaan kelemahan setelah datangnya Dajjal. Dan kejadian ini menunjukkan atas kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tercantum dalam firman Allah “Ingatlah ketika Allah berfirman “Hai Isa sesungguhnya Aku akan menyampaikan kepada kamu kepada akhir ajalmu, dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir…355” Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid II, hlm 347. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa menurut jumhur ulama setelah Nabi Suci Muhammad saw akan datang seorang nabi lama dari bangsa Israel yang kedatangannya tanpa syariat, sebab beliau “diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw”. Kerancuan ini terjadi karena berpegang kepada arti harfiah kata rafa’a dan nazala Isa ibn Maryam dalam Quran Suci dan Hadits Nabi tentang profetik-eskatologk. Israeliat dan Nashrasiat juga mempengaruhi mereka. Menurut dogma Kristen Yesus Kristus terangkat ke Sorga, duduk disebelah kanan Allah dan akan turun ke dunia untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati Pengakuan Iman Rasuli ke 6 dan 7. Meterai sekalian nabi. Arti kedua ini menurut Ahmadiyah Qadiani, sebagaimana tertulis dalam Alquran dengan Terjemah dan Tafsir Singkat. Dijelaskan, bahwa “ungkapan Khataman-Nabiyyin dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti 1 Rasulullah saw adalah meterai para nabi, yakni, tiada nabi dapat dianggap benar, kalau semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh Rasulullah saw dan juga tiada seorangpun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau, kecuali dengan menjadi pengikut beliau. 2 Rasulullah saw adalah yang terbaik, termulia dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka Zurqoni, Syarah Mawahib al-Laduniyah. 3 Rasulullah saw adalah yang terakhir diantara para nabi pembawa syariat. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliyullah seperti Ibn Arabi, Syah waliyullah, Imam Ali Qari’, Mujaddid Alfi Tsani, dan lain-lain… 4 Rasululah saw adalah nabi yang terakahir Âkhirul-Anbiyâ’ hanya dalam arti kata, bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau; khâtam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah lazim dipakai” Tafsir no. 2359. Dari uraian tersebut terang sekali, bahwa Nabi Suci Muhammad saw bukanlah penutup nabi-nabi, karena Nabi Suci hanyalah “yang terakhir diantara para Nabi pembawa syariat” dan “khatam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan kesempurnaan adalah lazim dipakai”, contohnya dikemukakan pada buku-buku yang lain; dijelaskan bahwa ungkapan Khâtamun-Nabiyyîn adalah “Murakkab Idhafi“, karena kata khâtam adalah mudhâf dan an-nabiyyîn adalah mudhafilaih bentuk jamak, seperti syu’arâ, auliya’, muhâjirîn, dan lain-lain; kata khâtam artinya kelebihan, keagungan dan kesempurnaan, seperti Abu Tamam, seorang penyair dikatakan khâtamusy-syu’arâ’, Sayidina Ali dan Ibnu Arabi dikatakan khâtamul-auliyâ’, Ibn Abbas disebut khâtamul-muhâjirîn, dan lain-lain. Di samping itu masih ditopang dengan alasan-alasan linguistik yang digunakan terlalu ketat terhadap Quran Suci dan Hadits Nabi yang ujung-ujungnya untuk dalil menabikan seseorang dan juga melahirkan pendapat bahwa pangkat dan jabatan kenabian dapat diminta dan diusahakan oleh manusia. Khâtamun-Nabiyyîn dalam “penutup nabi-nabi” mereka tolak. Dengan demikian setelah Nabi Suci Muhammad saw pintu kenabian tetap terbuka tidak tertutup, tetapi yang akan datang adalah nabi tanpa syarait, seperti yang dikemukakan oleh Muhyiddin ibnu Arabi atau seperti yang dipahami oleh para ahli sufi. Di sini juga terjadi kerancuan seperti pendapat pertama. Hanya bedanya, pendapat pertama tak mengenal istilah sufi, segala sesuatunya hanya didasarkan atas istilah sufi; sedang penadpat yang kedua tak membedakan antara istilah sufi dengan istilah syar’i. Memang pada zaman Nabi Suci antara keduanya belum dibedakan. Pembedaan terjadi dikemudian hari pasca Nabi Suci sebagai manifestasi penjagaan keaslian Quran Suci 159 secara maknawi atau rohani. Oleh karena itu kedua pendapat tersebut selalu bertentangan, tak dapat dipertemukan. Hal ini membuktikan bahwa keduanya salah. Kesalahpahaman karena sama-sama meyakini akan datangnya seorang Nabi tanpa syariat setelah Nabi Suci Muhammad saw. Hanya bedanya, menurut pendapat pertama yang akan datang adalah seorang Nabi lama, yaitu Nabiyullah Isa ibnu Maryam dari Bani Israel yang sampai sekarang belum datang masih hidup di langit; sedang menurut pendapat keduanya, yang datang adalah nabi baru—bukan nabi lama, karena mereka telah wafat, termasuk Nabiyulah Isa ibn Maryam yang kini telah datang, yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alqadiyani 1835-1908. Menurut mereka, beliau adalah seorang Nabi tanpa syariat seperti halnya Yahya, Zakaria, Isa Almasih, dan sebagainya. Jadi menurut pendapat pertama Khatamun-Nabiyyîn itu dalam arti penutup nabi-nabi hanya dalam arti pengangkatan saja, bukan kedatangannya. Maka dari itu selian Nabi Isa ada Nabi-nabi lain yang sekarang dianggap masih hidup, yaitu Nabi Idris, Nabi Khidhir dan Nabi Ilyas. Segel penutup para nabi. Arti ketiga ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya The Holy Qur’an sebagai penerus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau terangkan, “Kata khâtam berarti segel atau bagian terakhir dari suatu barang; yang tersebut belakangan adalah makna asli dari kata khâtim“. Lebih lanjut beliau jelaskan “Walaupun umum mengakui bahwa Nabi Suci adalah kesudahan para Nabi, bahkan sejarahpun menerangkan bahwa setelah beliau tak ada Nabi lagi yang muncul, namun Quran menggunakan kata khâtam, bukan khatim, karena kata segel para Nabi mengandung arti yang lebih dalam daripada kata penutup para Nabi. Sebenarnya kata khatam mengandung arti penutup yang digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian, bersamaan pula dengan kelestarian penganugerahan sesuatu wahyu kenabian di kalangan para pengikut Nabi Suci”. Menurut beliau “Tugas para Nabi hanyalah memimpin manusia, baik dengan memberi hukum syariat maupun membersihkan hukum syariat yang sudah ada dari segala macam ketidaksempurnaan atau dengan memberi petunjuk baru yang memenuhi kebutuhan zaman, karena keadaan masyarakat pada zaman dahulu tak memerlukan diturunkannya wahyu tentang undang-undang yang sempurna selaras dengan keperluan berbagai macam generasi dan berbagai tempat. Oleh sebab itu, Nabi-nabi senantiasa dibangkitkan. Tetapi dengan datangnya Nabi Suci, diturunkanlah undang-undang yang sempurna, yang cocok dengan keperluan segala zaman dan daerah, dan undang-undang ini dijamin keselamatannya dari segala macam kerusakan, dan oleh karena itu tak diperlukan lagi jabatan kenabian”. Masih beliau lengkapi “Tetapi ini tidaklah berarti, bahwa nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada hambaNya yang terpilih, tak dianugerahkan kepada orang yang terpilih diantara kaum Muslimin. Orang tak memerlukan lagi syariat baru, karena mereka telah mempunyai syariat yang sempurna, tetapi mereka masih tetap memerlukan turunnya nikmat Tuhan. Nikmat Tuhan yang paling tinggi ialah Wahyu; dan Islam mengakui bahwa sekarangpun Tuhan bersabda kepada hamba-Nya yang terpilih, sebagaimana Allah dahulu bersabda, tetapi orang yang diberi sabda itu bukan Nabi dalam arti kata yang sesungguhnya”. Tafsir no. 1994. Dari uraian tersebut teranglah, bahwa Nabi Suci sebagai Khâtamun-Nabiyyîn dalam arti segel penutup para nabi, arti ini mengandung dua aspek, yaitu kesempurnaan bergabung dengan akhir kenabian. Kesempurnaannya, karena karya yang dilaksanakan oleh para Nabi terdahulu sesudah beliau dilestarikan oleh umat Islam untuk selamanya dengan keberkatan beliau mereka dapat mencapai pangkat atau maqam seperti para Nabi terdahulu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Suci “ulama-ulama umatku seperti para nabi Israel”. Sedang berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci, karena sesudah beliau tidak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Suci “Tak ada Nabi sesudahku”. Jadi yang telah diakhiri atau ditutup, tak dibuka lagi adalah jabatan kenabian, bukan pangkat atau maqam kenabian yang secara sufiyah disebut nabi tanpa syariat, nabi buruzi, nabi zhilli, nabi ummati, nabi majasi, nabi juz’i dan nabi ghairu mustaqil yang secara syar’i bukan nabi; istilah nabi secara syar’i dalam istilah sufi oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad disebut nabi tasyri’, nabi hakiki, nabi mustaqil, dan nabi tammah. Oleh karena hanya pangkat atau maqam yang dapat dicapai oleh orang-orang tertentu, maka selain data diupayakan juga boleh dimohon, bahkan dianjurkan agar umat Islam memohonnya 406 yang isi permohonannya diterangkan dalam tiga ayat terakhir Surat Alfatihah. Nabi Suci bersabda “Tak ada lagi wahyu kenabian kecuali mubasysyarât kabar baik“. Dan tatkala beliau ditanya “Apakah mubasysyarat itu?” Beliau menjawab “Impian yang baik” Bukhari. Hadits lain meriwayatkan “Impian serang mukmin adalah seperempat puluh enam bagian dari wahyu kenabian” Bukhari. Jadi wahyu kenabian tiada lagi, tetapi sebagian dari wahyu kenabian tetap ada, dan akan tetap dikaruniakan selama-lamanya dikalangan pengikut Nabi Suci sebagaimana dinyatakan dalam Quran Suci 469-70. Arti signifikan Khâtamun-Nabiyyîn. Ayat Khâtamun-Nabiyyîn selengkapnya sebagai berikut “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang laki-laki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup nabi-nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” 3340. Ada tiga hal yang disebutkan dalam ayat ini 1 Muhammad saw bukanlah ayah seorang lelaki diantara umat Islam, 2 beliau seorang Utusan Allah, dan 3 beliau adalah segel penutup nabi-nabi. Hubungan antara ketiganya sebagai berikut Karena silsilah berlanjut dari laki-laki, bukan dari keturunan perempuan, maka Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari laki-laki kamu, berarti keturunan secara jasmani Muhammad saw telah terputus, tetapi secara rohani beliau adalah bapak segenap umat Islam, sebab beliau adalah Utusan Allah—para Nabi Utusan Allah adalah bapak rohani umatnya—dan kebapakan beliau berlangsung terus, tak berkesudahan, sebab beliau adalah segel penutup nabi-nabi. Di sinilah arti signifikannya Khâtamun-Nabiyyîn dalam arti akhir para nabi, sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru. Jika datang nabi baru garis keturunan spiritual dari nabi sebelumnya terutus, beralih kepada nabi baru. Jika secara lahiriah seorang anak mempunyai kemiripan wajah, penampilan, bakat, karakter, dan sifat-sifat bapaknya, demikian pula secara rohani seseorang yang taat dan patuh mengikuti seseorang Utusan Allah ia dapat menjadi mirip seperti beliau yang menjadi bapak rohaninya, misalnya kemiripan kaum Yahudi dengan Musa, kemiripan kaum Kristiani dengan Isa Almasih Yesus Kristus, kemiripan kaum Budhis dengan Siddharta Gotama, kemiripan kaum Hindu dengan Sri Krisna, dan sebagainya yang semua itu sekarang berlangsng terus dan data dicapai oleh anak-anak rohani Muhammad saw berkat ketaatan yang sempurna terhadap diri beliau sebagai Khâtamun-Nabiyyîn. Ingat, mereka hanyalah sebagai bayangan zhill dan penampakan buruzi beliau saja, bukan Nabi, sebab “nabi-nabi itu bersaudara, ibu mereka berbeda tetapi agamanya satu” Misykat. Para Nabi itu yang pertama dalam Adam dan yang terakhir adalah Muhammad saw, semuanya bapak rohani umatnya masing-masing. Demikianlah arti signifikan ayat Khâtamun-Nabiyîn yang diturunkan setelah Ibrahim putra Nabi Suci wafat dan setelah beliau menikahi Siti Zainab di bawah wahyu Ilahi 3337-38, maksud ayat suci itu bukan hanya sekedar menjelaskan kedudukan anak angkat secara hukum tidak sama dengan anak kandung, dan bukan pula hanya sekedar membantah tuduhan kaum kafir, bahwa beliau abtar, terputus silsilahnya karena tak punya anak laki-laki saja, melainkan Dia telah menjadikan beliau sebagai Utusan Allah atau bapak rohani segenap umat Islam dan kebapakan beliau tak akan pernah terputus, sebab beliau Nabi terakhir. Jadi ayat ini memberi tahu dunia, bahwa keturunan lahiriah dan hubungan kekerabatan jasmaniah itu tiada nilanya dihadapan Tuhan, maka ditegaskan “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang laki-laki kamu”. Dengan demikian akidah tentang Imamah atau Imarah syaratnya Quraisyiyah atau Ahlul-Bait baca Alawiyah bertentangan dengan asas Quran yang telah menetapkan Nabi Suci sebagai Nabi terakhir, sehingga silsilah rohaniah yang nilainya jauh lebih tinggi daripada silsilah jasmaniah, tak akan terputus di dunia. Di samping itu juga merupakan kabar baik bagi dunia, bahwa kenikmatan yang dinugerahkan kepada para Nabi terdahulu akan terus lestari dianugerahkan kepada siapapun, asal menjadi pengikut beliau dengan tulus yang sejatinya ia tak meninggalkan Nabi terdahulu yang menjadi ikutannya, sebab kedatangan para Nabi itu hanyalah mempersiapkan umatnya masing-masing agar menerima beliau 391. Misalnya umat Kristen untuk menjadi “anak Allah” seperti Yesus Yoh 1033-36 jalannya bukanlah mengikuti ajaran dan keteladanan Yesus dalam Injil, sebab Injil yang ada sekarang dalam Perjanjian Baru bukanlah “Injil Yesus” atau “Injil dari Yesus” akan tetapi hanya “Injil tentang Yesus Kristus”Mrk 11. Oleh karena itu siapapun dapat menulisnya, bukan monopoli Matius, Markus, Lukas, Yohanes dan Paulus saja, tetapi juga siapapun yang mau demi ekspresi imannya. Jalan untuk menjadi “anak-anak Allah” Mat 59 melalui “Injil tentang Yesus” terhalang, akan tetapi terbuka lebar melalui Quran Suci yang keasliannya terjaga 159 dengan jalan mengikuti ajaran dan teladan Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khâtamun-Nabiyyîn dalam diri beliau terkumpul semua sifat nabi-nabi terdahulu, seperti keperwiraan Musa, kebijakan Yoshua, keberanian Daud, kemegahan Sulaiman, kesabaran Ayub, kesederhanaan Yahya, keugaharian Isa Almasih, kezuhudan Siddharta Gotama, dan sebagainya sebagaimana dalam Quran Suci terdapat Kitab-kitab Suci terdahulu yang benar 982-3. Penggunaan kata khâtam. Kata khatam memiliki bermacam-macam arti yang inti pengertiannya berkaitan erat dengan keabsahan surat-surat. Penggunaannya sejak masa Nabi Suci, bahkan sejak sebelum beliau, karena khâtam dalam arti cincin stempel merupakan salah satu atribut raja sebagai tanda kebesaran dan kemegahan. Raja dapat membubuhkan khâtam pada bagian akhir surat dengan tinta. Diceritakan bahwa ketika Nabi Suci hendak mengirim surat dakwah kepada para penguasa disekitar Jazirah Arab. Kepada Nabi Suci diinformasikan, bahwa raja-raja non Arab ajam hanya mau menerima surat-surat yang diberi khâtam. Maka Nabi Suci membuat khâtam cincin stempel dari bahan perak berukirkan “Muhammad Rasulullah”. Penggunaan khâtam itu diteruskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan juga para khalifah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Setiap orang yang memangku jabatan khalifah memiliki khâtam. Didalamnya tak diukirkan nama khalifah, tetapi diukirkan kata-kata hikmah atau slogan, misalnya khâtam Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali masing-masing diukirkan kata-kata Ni’matul-Qâdirillâh yang Maha-kuasa Yang paling baik adalah Allah, Kafâbil-manti Wa’izham Yâ Umar Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu, Latashbiranna an latan damanna Engkau bersabar atau menyesal dan Al-Mulku lillâh Kekuasaan hanya bagi Allah. Khatam juga berarti akhir. Maksudnya, tulisan yang telah diberi khatam itu benar dan sah atau penulisan surat sudah selesai dan lengkap dengan diberinya khâtam. Dengan demikian frase khâtamun-nabiyîn artinya “segel penutup para nabi” dan arti ini yang lebih mendekati kebenaran dibanding arti-arti lainnya, karena mengandung dua aspek yaitu kesempurnaan bergabung dengan akhir kenabian. Jadi Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi yang sempurna atau yang terbesar dan terakhir kedatangannya, sebab sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru.[] This entry was posted on 16/10/2017, 513 am and is filed under ENSIKLOPEDI. You can follow any responses to this entry through RSS You can leave a response, or trackback from your own site.

Insankamil kepada siapa Kitab Al-Quran diwahyukan tidak terbatas kemampuan kasyafnya, dan tidak juga mempunyai kekurangan dalam belas kasihnya. Baik dari sudut pandang saatnya mau pun tempat, jiwa beliau selalu penuh dengan belas kasih. Karena itulah beliau dikaruniai dengan manifestasi alamiah dan beliau dijadikan sebagai Khãtamul Anbiyã.
Konsep yang Sebenarnya mengenai Khataman Nabiyyin Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil aziiz Jumat, 13 Oktober 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين. مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki dari antara kalian, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin; dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” Al-Ahzab 3341 Di Pakistan, para Politisi dan para Ulama dari masa ke masa beromong-kosong dalam hal yang mengada-ada dalam penentangan terhadap Ahmadiyah dengan memunculkan dasar pemikiran berlandaskan satu argumentasi atau yang lainnya. Sebab, mereka beranggapan itu cara yang amat murah untuk menarik orang-orang, meyakinkan publik tentang posisi mereka dan demi meraih suara. Senjata terbesar yang mereka gunakan demi menghasut orang-orang Muslim ialah senjata isu Khatamun Nubuwwah. Setiap kali sebuah Partai Politik keadaannya menurun atau seorang politisi menghadapi situasi sulit atau sebuah organisasi keagmaan berusaha mendapat suara di kursi politik atau demi membuat turun suara partai lain atau politisi lain yang lawan mereka maka mereka mengaitkan orang itu dengan Ahmadiyah dalam satu atau lain cara dengan mengatakan, “Perhatikanlah! Betapa jahatnya mereka karena membawa orang-orang Ahmadi kedalam sebuah Republik Muslim.” Sebab, mereka menyangka para Ahmadi mengingkari Khatamun Nubuwwah. Mereka yang menyangka dirinya membela Islam berkata, “Kami takkan membiarkan kehormatan rasulullah saw tercoreng. Takkan kami biarkan kejahatan ini. Betapa jahatnya menamai para Ahmadi itu sebagai orang Islam!” Tatkala mereka mengumumkan akan mengorbankan diri mereka dan jiwa mereka di jalan ini, partai lain tidak berusaha – sehingga walau dengan tangan kekuasaan – kecuali menjalankan para anggotanya di Parlemen agar membuat pernyataan, “Tidak mungkin para Ahmadi mendapatkan sesuatu haknya.” Bahkan, Pemerintah mengumumkan bahwa para Ahmadi hendaknya dicabut hak-haknya dari yang paling sederhana yang mereka nikmati itu dalam keadaan sebagai warga Negara Pakistan. Meski hak-hak ini seperti hak-hak warga Negara kelas tiga. Setiap Partai bekerja demi mencapai rencana politiknya dan tujuan perseorangannya dan itu tidak ada hubungannya dengan Ahmadiyah. Mereka menggiring para Ahmadi dalam kasus ini karena mengangkat isu Ahmadiyah adalah isu yang paling mudah. Para anggota Partai Pemerintah dan Partai penentang Pemerintah oposisi muncul dan berbicara yang memusuhi Ahmadiyah dengan bebasnya. Inilah apa yang kita saksikan terjadi di Parlemen Nasional Pakistan ketika sebuah partai politik, atau lebih tepatnya Partai pemerintah, mencoba membuat perubahan kata-kata dalam konstitusi untuk mencapai kepentingannya. Telah terjadi kegemparan di media akhir-akhir ini di Pakistan. Masalah ini sekarang telah diungkap ke seluruh dunia. Saya tidak ingin menjelaskan dengan rinci di kesempatan ini. Sejauh menyangkut Jemaat Ahmadiyah, kita tidak pernah meminta kepada kekuatan asing untuk campur tangan di Pakistan demi membuat perubahan dalam Undang-Undang Pakistan dan memberi kita status sebagai “Muslim” di hadapan hukum dan konstitusi tersebut. Kita juga tidak pernah mengiba kepada pemerintahan Pakistan mana pun untuk hal tersebut. Kita tidak memerlukan sertifikasi dari Lembaga Legislatif atau pemerintah mana pun di dunia demi dianggap sebagai Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena kita memang Muslim. Kita menyebut diri kita Muslim karena memang kita adalah Muslim. Allah Ta’ala dan juga Rasulullah saw yang telah menamai kita sebagai umat Muslim. Kita mengucapkan Kalimah Syahadat, tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad ialah Rasul Allah, kita mempercayai semua rukun Iman dan rukun Islam, mengimani al-Quran dan mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam al-Quran, dan telah saya tilawatkan ayat al-Qur’an tersebut beberapa saat lalu. Kita secara tegas dalam corak bashirah membuktikan bahwa Sayyiduna Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam ialah Khatamun Nabiyyiin. Bahkan Hadhrat Masih Mau’ud as dengan jelas dan gamblang menulis di banyak tempat, “Seseorang yang menyangkal Khataman Nabiyyin, saya menganggapnya sebagai orang yang tak beragama dan di luar dari daerah Islam. Ia bukanlah seorang Ahmadi, bukan juga orang Islam.” Oleh karena itu, ini adalah bentuk kerusuhan kekacauan yang mereka ciptakan untuk menentang kita, dan ini merupakan fitnah yang mereka tuduhkan terhadap kita, bahwa kita mengingkari Khataman Nabiyyin, dan kita Naudzubillah tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Ini merupakan fitnah yang sangat keji. Tuduhan ini ditujukan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan Jemaat Ahmadiyah sejak pendakwaan beliau as. Setiap kali para penentang ingin mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri, mereka pun membuat kehebohan dan kembali melontarkan tuduhan ini di suatu waktu dan waktu yang lain. Dalam salah satu pidatonya, Hadhrat Khalifatul Masih II ra bersabda, “Ini adalah fitnah yang dituduhkan terhadap kita, dan kita harus memberitahukan mereka akan ketidakbenaran tersebut dengan mengatakan bahwa kita tidak menolak konsep Khataman Nubuwwat, karena kita membaca, mempercayai dan mengimani al-Quran. Dan al-Qur’an menyatakan bahwa Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Bahkan ulama bukan Ahmadi mengajukan kritik – inilah yang mereka ajarkan kepada orang-orang awam. Untuk itu mereka ulang keberatan ini. Bahkan, disebabkan sarana komunikasi dan media para Ulama dari Negara lain dipengaruhi oleh orang-orang yang disebut ulama dan cendikia dari Pakistan ini – mengatakan, naudzubillah, Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran dan menganggap wahyu-wahyu yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad lebih tinggi dan mulia daripada al-Quran.” Banyak orang Arab yang setelah menemukan kebenaran, baiat bergabung kedalam Jemaat Ahmadiyah, mereka pun bercerita, “Saat kami bertanya kepada para ulama kami perihal Ahmadiyah, mereka mengatakan Ahmadiyah tidak mempercayai al-Quran, Ahmadiyah memiliki Al-Qur’an yang lain atau Kitab selain al-Quran, tidak mempercayai Rasulullah saw sebagai nabi terakhir malah mempercayai Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir, tempat berhajinya berbeda bahkan Ahmadiyah tidak naik Haji, Qiblat-nya berbeda dan shalatnya tidak menghadap Ka’bah. Ketika kami meneliti akan hal tersebut, kebohongan mereka pun terbongkar. Tapi disebabkan kebohongan mereka tersebut tentang Ahmadiyah dan tuduhan batil mereka, malahan itu menjadi sarana banyak orang menerima Ahmadiyah.” Para ulama itu secara tidak langsung – dari satu segi – telah melakukan tabligh kepada kami dengan kedustaan mereka itu. Bagaimana mungkin kita tidak mengimani Al-Qur’an dan tidak mempercayai Rasulullah saw adalah Khataman-Nabiyyin padahal di suatu ketika wahyu yang diterima Hadhrat Masih Mau’ud as menyampaikan bahwa al-Quran ialah Kitab Allah dan memandangnya sebagai mata air dari segala kebajikan serta di dalam Kitab itu disebutkan bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Salah satu wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as al-khairu kulluhu fil qur’aan “Setiap kebajikan terdapat dalam al-Quran Karim.” Sejurus dengan itu, beliau as bersabda, “Orang-orang yang memuliakan al-Quran, akan dimuliakan di langit.” Tidak pernah satu kali pun di mana pun beliau as pernah menyampaikan untuk memuliakan ilham-ilham beliau. Bahkan, ilham-ilham beliau as tersebut tunduk terhadap al-Quran. Wahyu-wahyu tersebut tidak memiliki kedudukan secara independent atau berdiri sendiri. Tiap-tiap kebaikan yang kita cari dan tiap-tiap petunjuk yang kita inginkan dalam soal agama atau sosial, kita dapatkan dari Al-Qur’an. Banyak wahyu beliau as yang menjelaskan hal itu dan menyebutkan tema ini. Demikian juga ada kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as yang tak terhitung jumlahnya tentang Rasulullah saw sebagai Khataman Nabiyyin. Sebagaimana dalam salah satu ilham yang beliau terima menyebut kata khatamun nabiyyiin, “صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ سَيدِ ولدِ آدَمَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ” Shalli alaa Muhammadin wa aali Muhammadin sayyidi waladi Aadama wa khaatamin nabiyyiin’ – “Bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, Majikan segenap anak keturunan Adam dan Khatam para nabi.” Ilham ini berulang dua atau tiga kali di berbagai tempat yang berbeda. Ada juga ilham lain, كل بركة من محمد صلى الله عليه وسلم ’Kullu barakatin mim Muhammadin shallaLlahu alaihi wa sallam’ – “Setiap keberkatan berasal dari Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam”. Selanjutnya beliau as menulis dalam kitab beliau, Tajalliyat Ilahiyyah Manifestasi Ilahi, “Jikalau saya bukan umat beliau saw dan mengikutinya, meski amal kebajikanku sebesar gunung-gunung di dunia, pastilah saya tidak akan pernah menerima kehormatan mukaalamah dan mukhathabah bercakap-cakap dengan Tuhan. Hal demikian karena segala bentuk kenabian yang lainnya telah berakhir kecuali kenabian Muhammad saw.” Oleh karena itu, Hadhrat Masih Mau’ud as pun tunduk mengikuti Rasulullah saw dan ilham-ilham beliau pun tunduk mengikuti al-Quran dan merupakan penjelasan dari al-Quran. Apabila kita, naudzubillah, menganggap wahyu-wahyu beliau as lebih tinggi dari al-Quran, lalu mengapa hari ini kita harus berkorban harta dan tenaga demi menerbitkan al-Quran dan terjemahannya di dunia seluruhnya, bukannya menerbitkan wahtu-wahyu Hadhrat Masih Mau’ud as. Sampai detik ini al-Quran sudah diterjemahkan dan diterbitkan kedalam 75 tujuh puluh lima bahasa, sedangkan terjemahan kedalam beberapa bahasa lainnya terus dikerjakan dan Insya Allah, akan segera diterbitkan. Kita juga menerbitkan buku terjemahan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an dalam 111 bahasa. Negara-negara Islam dan organisasi-organisasi Islam yang kaya raya perlu membuat statement bahwa sudah berapa banyak kah al-Quran yang mereka terjemahkan dan terbitkan kedalam berbagai bahasa yang berbeda? Kita-lah para Ahmadi yang memahami makna dan ruh sebenarnya dari Khataman Nabiyyin, dan kita-lah para Ahmadi yang mempublikasikan pengumuman dari Allah Ta’ala bahwa Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin melalui terjemahan Al-Qur’an ke berbagai bahasa di seluruh dunia. Kendati demikian orang-orang tersebut yaitu para penentang Jemaat, naudzubillah, tetap menuduh Ahmadiyah menolak dan tidak mengakui Khataman Nubuwwat. Hadhrat Masih Mau’ud as mengajarkan kepada kita arti dan makna Khataman Nubuwwat, dimana orang-orang yang mengklaim diri mereka penjaga Khataman Nubuwwat tersebut bahkan tidak mampu memahaminya. Menanggapi kesalahan pemahaman orang-orang yang menuduh kita tidak menganggap Nabi Muhammad saw adalah خاتم النبيين Penghulu para Nabi, beliau as bersabda, “Anda harus ingat, kritik terhadap Jemaat saya dan saya sendiri bahwa kami tidak menganggap Nabi Muhammad saw sebagai Khatamun Nabiyyin adalah tuduhan yang sungguh tidak benar. Kami percaya dan meyakini Nabi Muhammad saw sebagai Khatamul Anbiya dengan keyakinan, kekuatan, ma’rifat dan bashirah keakuratan yang sedemikian kuat yang bahkan orang-orang selain kami tidak mencapai 1/ bagian darinya. Mereka bahkan tidak memiliki keberanian yang demikian untuk memahami realitas dan rahasia yang terkandung dalam makna finalitas Kenabian sang Khatamun Nabiyyiin Nabi Muhammad saw. Mereka hanya mendengar istilah dari nenek moyang mereka tetapi tidak menyadari kenyataannya. Mereka tidak tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan Khatamun Nubuwwah dan apa pengertian beriman kepada beliau saw. Namun, kami mengimani bahwa Nabi Muhammad saw adalah Khatamun Nabiyyiin dengan ketepatan pandangan hal mana diajarkan oleh Allah Ta’ala. Dan Allah telah mengungkapkan pada kami mengenai realitas sesungguhnya Khatamun Nabiyyiin sehingga mata air pemahaman yang menyeluruh diminumkan untuk konsumsi kita, sehingga kita mendapatkan perasaan suka cita yang unik. Tidak ada yang bisa punya pemikiran tentang hal itu kecuali bagi mereka yang diairi oleh mata air ini.” Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Allah Ta’ala telah menganugerahi kita dengan Nabi yang merupakan خاتم المؤمنين Khatamul Mu-miniin, yang terbaik dari orang-orang beriman, خاتم العارفين Khatamul Aarifiin, yang terbaik dari semua orang arif berpengetahuan dan خاتم النبيين Khatamun Nabiyyiin, yang terbaik dari para Nabi. Demikian pula, kitab yang diturunkan kepada beliau merupakan cakupan komprehensif dan yang terbaik dari semua kitab jami’ul kutub dan khatamul kutub. Jadi, kenabian termateraikan pada Nabi Muhammad saw yang merupakan خاتم النبيين Penghulu para Nabi. Tapi, itu tidak berakhir seperti halnya seseorang dihabisi dengan mencekik tenggorokannya. Akhir yang demikian tidaklah layak dibanggakan. Makna Khatamun Nubuwwah pada Nabi Muhammad saw artinya bahwa sifat-sifat kesempurnaan kenabian secara alami berakhir pada beliau. Berbagai mukjizat yang secara individual diberikan pada para Nabi dari Adam as sampai Isa Yesus putra Maryam as semua terkumpul dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw secara alami menjadi layak atas gelar Khataman Nabiyyin. Begitu juga, bahwa kumpulan ajaran, bimbingan dan pengetahuan yang ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya berakhir dengan diwahyukannya Al-Quran. Ini adalah bagaimana Al-Quran kemudian menjadi خاتم الكتب khatamul kutub yang terbaik dari semua Kitab.” Inilah hakikat yang tidak diketahui para penentang kita dan para Ulama yang tidak menghendaki kesalahpahaman perihal makna Khatamun Nabiyyin dihapus. Sebabnya, jika umat mereka tahu hal yang sebenarnya, tentu perdagangan agama’ yang mereka lakukan akan berakhir. Beliau as menjelaskan di tempat lain, “Saya ingin berkata sekali lagi mengenai Khatamun Nabiyyin bahwa makna terbesar makna dasar Khataman Nabiyyin adalah kualitas-kualitas kenabian yang dimulai dengan Adam memperoleh kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Inilah makna lahiriah yang jelas. Makna lainnya adalah wilayah ruang lingkup kesempurnaan kenabian telah berakhir pada Rasulullah saw. Saya katakan dengan sebenarnya bahwa al-Quran menyempurnakan semua ajaran sebelumnya yang belum sempurna, dengan demikian kenabian pun mencapai kesempurnaanya. Ajaran-ajaran yang diberikan oleh para Nabi sebelumnya belum mencapai tingkat tertinggi maka Al-Qur’an-lah yang menyempurnakannya dan Syari’at Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dengan itu kenabian pun telah sempurna. Maka dari itu, kesempurnaan yang dicapai manusia dengan keberkatan Al-Qur’an takkan tercapai usaha untuk mencapainya tanpa Al-Qur’an yang telah turun kepada Nabi Muhammad saw. Jadi, Islam ialah pembenaran dari firman Allah, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu…” Surah Al-Maaidah, 54 “Singkatnya, hal ini Khatamun Nabiyyin merupakan salah satu tanda Kenabian Rasulullah saw. Tidak perlu membahas perdebatan tentang bagaimana dan seharusnya hal itu. Prinsip-prinsipnya jelas, dan itu semua disebut fakta-fakta yang tetap. Tidak perlu orang beriman memperdebatkan di dalamnya, tapi dia harus percaya terhadap hal itu. Jika penentang mengajukan keberatan, kita bisa memberi mereka pemahaman. Jika tidak berhenti juga mereka, kita bisa mengatakan kepadanya untuk membuktikan kepada kita hal-hal cabang furu’ yang ada padanya. Singkatnya, meterai nubuatan adalah termasuk tanda satu tanda Kenabian Rasulullah saw, dan setiap Muslim harus percaya akan hal itu. keadaan beliau sebagai Khatamun Nabiyyiin merupakan keistimewaan dari keunggulan-keunggulan khusus yang ada pada bleiau saw. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, jika seseorang tidak percaya dengan Khataman Nabiyyin, maka Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan bahwa orang tersebut bukanlah seorang Muslim, dan keluar dari daerah Islam. Beliau as bersabda menjelaskan lebih lanjut kedudukan Khatamun Nubuwwah dan membuktikan kelebihan Islam dibanding seluruh agama “Pemahaman mengenai Khatamun Nubuwwah dapat sebagai berikut batas dan puncak yang mana dalil-dalil dan Ma’rifat ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian meraih akhirnya finalitasnya maka nama yang diberikan ialah Khataman Nabiyyin. Maka di luar itu, orang-orang yang mengkritik hal itu tidak lain adalah seorang yang tak ber-Tuhan yang beramal tanpa iman kepadanya. Dalam semua hal, penjelasan-penjelasan mendasarkan pemahamannya dan pengertiannya pada pengetahuan penuh dan cahaya penglihatan. Jika seseorang benar-benar sadar akan ilmu agama dan menerima cahaya dari Tuhan, maka ia dapat mengakomodasi hal-hal ini Pengutusan Nabi saw ialah demi penyempurnaan iman dan irfan, dan memberi berbagai bangsa lain cahaya terang dan mereka belum pernah dianugerahi hukum yang jelas dan mencerahkan. Jika mereka telah diberikan hal itu, apakah mereka dapat meninggalkan jejak apapun di Jazirah Arab? Seluruh bangsa belum pernah diberikan Syari’at sempurna dan Nabi-Nabi sebelumnya diutus untuk bangsa setempat saja. Beliau as menjelaskan jika itu sebagai bentuk dalil bahwa orang-orang Arab belum pernah mengetahui apa-apa soal Allah dan agama, mereka yang tahu sedikit dan mempunyai kontak dengan bangsa-bangsa lain juga tidak menerima Nabi karena mereka tidak memiliki cahaya penuh, jika agama-agama sebelumnya memiliki cahaya penuh, tentu itu mempengaruhi orang-orang Arab Matahari telah datang dari semenanjung Arab memberi nyala terang bagi semua orang dan melontarkan cahaya-cahayanya ke setiap penjuru desa. Ini adalah status Nabi saw sebagai siraaj muniir cahaya terang yang menerangi semua bangsa dan cahayanya mencapai ke segala tempat dan di setiap sudut dan di setiap kota Merupakan satu-satunya kebanggaan Alquran saja sehingga dia mampu mengatasi seluruh agama dunia mengenai isu monoteisme Tauhid dan kenabian. Masalah Tauhid dan kenabian yang dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran adalah bukti yang belum pernah diberikan pada agama sebelumnya, ini adalah makna penyelesaian syariah dan penunjukan Nabi sebagai Khatamun Nabiyyin. Merupakan dapat menjadi sebab kebanggaan umat Muslim bahwa mereka dianugerhi Kitab ini. Penyebab mereka yang keberatan dan menyerang ajaran-ajaran Islam dan petunjuk-petunjuknya adalah karena kegelapan batin dan ketiadaan keimanan mereka.” Islam ialah satu-satunya agama yang muncul dari Jazirah Arab dan bersinar terang ke seluruh penjuru wilayah di dunia serta masih saja ajaran hakikinya tersebar di dunia. Jemaat Ahmadiyah berusaha segenap kekuatan dan sarana guna menyebarluaskan kedudukan Tauhid dan Nubuwwah Kenabian di tiap Negara, desa dan di tiap lembah pemukiman di dunia. Kita ialah yang memiliki pemahaman benar mengenai Khatamun Nubuwwah dan Syariat yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Maka, hanya Hadhrat Masih Mau’ud as saja yang menjelaskan kepada agama-agama lain perihal kedudukan Nabi Muhammad saw. Bukan hanya itu saja, bahkan beliau bersabda, “Seluruh ajaran Nabi-Nabi sebelumnya telah diubah-ubah sampai derajat kedudukan mereka dan kebenaran mereka tidak menjadi jelas dari itu dan apakah mereka itu orang benar atau tidak. Merupakan jasa prestasi Nabi Muhammad saw yang menjelaskan hakikat para Nabi masa lalu dan kebenaran mereka. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Ajaran sempurna yang mendidik dan menanggung kualitas-kualitas kemanusiaan nan sempurna bukanlah ajaran yang menitikberatkan pada satu segi saja. Perhatikanlah apa yang dikatakan Injil, apakah yang dikatakan kemampuan-kemampuan kemanusiaan mengenainya? Kekuatan manusia dan fitrat kemanusiaan ialah Kitab Allah secara fi’li. maksudnya, kekuatan insan dan fitratnya merupakan penampakan secara amal perbuatan dari Kitab Allah Bagaimana mungkin Kitab Allah secara qauli, apa yang disebut Kitab Ilahi atau pengajaran Ilahi, bertentangan dengan kitab Allah secara fi’li? Yaitu, bimbingan dan pengajaran yang diturunkan Allah dalam Alquran, yang adalah Kitab-Nya secara qauli, tidak mungkin dapat bertentangan dengan pengajaran fithri bawaan dari kemampuan apapun yang telah diberikan Allah kepada manusia, bahkan jika bukan karena adanya Rasulullah saw, akhlak para Nabi sebelumnya dan ajaran-ajaran mereka, dan juga mukjizat-mukjizat mereka serta kekuatan kesucian mereka menjadi tempat kritikan saja. Namun, Nabi saw datang dan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang suci tak terlupakan dan membuktikan kebenaran mereka. Oleh karena itu, tanda-tanda kenabian beliau lebih mulia daripada matahari, dan ini tidak terhitung banyaknya. Keberatan terhadap kenabian Nabi saw atau tanda-tanda kenabiannya yang seperti hari yang cerah, ialah seperti orang buta yang bodoh yang mengatakan bahwa hari masih malam. Saya mengulangi bahwa jika Rasul kita Nabi Muhammad saw tidak diutus, niscaya agama-agama lain tetap berada dalam kegelapan, iman akan hancur dan bumi pun hancur dengan kutukan dan siksaan dari Tuhan. Islam seperti lilin yang bersinar yang juga membawa orang lain keluar dari kegelapan.” Jika kalian membaca Injil takkan kalian temukan kejelasan tentang ajaran Tauhid. Tidak diragukan bahwa tiap-tiap Kedua kitab itu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga datang dari Tuhan, sebagaimana keduanya benar-benar demikian, tetapi cahaya terang apakah yang dapat seseorang temukan di dalam kedua kitab itu? Cahaya hakiki guna mencapai keselamatan ialah Tauhid dalam Islam saja. Ambillah masalah Tauhid saja sebagai contoh, dimana saja Al-Qur’an menyingkapnya maka akan kita temukan bak pedang tajam yang merobek-robek Syirk. Demikian pula masalah Nubuwwah kenabian, semua segi jelas dan terang dapat kalian temukan dalam Al-Qur’an dengan tidak ada tambahan lagi.” Jadi, inilah ma’rifat pengetahuan mendalam mengenai Khatamun Nubuwwah yang telah disediakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Para Ulama masa kini menuduh-nuduh orang lain tapi tidak bisa mengungkapkan kepada agama-agama lain apa-apa kelemahan mereka atau membuktikan keunggulan Rasulullah saw. Melainkan, Jemaat Ahmadiyah yang berdiri demi memenuhi kewajiban ini sebagai hasil tarbiyat Hadhrat Masih Mau’ud as dan ajarannya. Meski demikian, kita dipandang sebagai orang-orang kafir di mata penentang kita, sementara mereka ialah orang beriman. Berkenaan dengan pendakwaan beliau, Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan “Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga menjadi orang sial yang menyatakan diri Rasul dan Nabi secara mengada-ada? Dapatkah mungkin seorang yang beriman kepada Al-Qur’an sekaligus juga meragukan ayat, وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ tetapi ia adalah Rasul Allah dan Khataman Nabiyyin’ sebagai firman Allah dengan berkata bahwa ia juga Rasul dan Nabi setelah Nabi Muhammad saw? Mereka yang berpikir adil obyektif harus ingat bahwa hamba yang lemah ini tidak pernah mendakwakan diri sebagai nabi atau rasul dengan makna hakiki. Penggunaan sesuatu kata secara majaaz dan dengan makna non hakiki sesuai makna-makna yang biasanya ditemukan dalam kamus, tidak membuat sebuah kekafiran. artinya, tidak menjadikan pengucapnya sebagai kafir Oleh karena itu saya tidak suka melakukan hal tersebut, sebab mungkin saja orang-orang yang awam bisa tertipu. Meskipun demikian, atas dasar kedudukan saya sebagai Ma-mur minaLlah mendapat perintah dari Allah, saya tidak bisa menyembunyikan Mukalamah dan Mukhatabah pembicaraan dan bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala yang Dia anugerahkan kepada saya. Dalam percakapan tersebut kata-kata Nabi dan Rasul banyak digunakan. karena Allah Ta’ala menggunakan kata-kata tersebut untuk memanggil beliau maka dari itu saya tidak bisa menyembunyikannya lagi. Saya sering mengatakan ini berkali-kali bahwa dengan segala hormat kata-kata Mursal dan Rasul yang digunakan dalam wahyu-wahyu tersebut tidak mengimplikasikan pada penggunaan makna hakiki. Hakikat yang saya nyatakan kepada umum ialah Nabi kita Muhammad Rasulullah saw adalah Khatam para nabi, dan setelah beliau saw tidak akan muncul Nabi baik yang lama maupun yang baru. Siapa yang mengatakan setelah Rasul kita dan Majikan kita saw ada Nabi atau Rasul dalam wajah hakikat, dengan mengada-ada, dengan meninggalkan Al-Qur’an dan hukum-hukum Syariat maka ia kafir dan pembohong.” Ringkasnya, kami beriman bahwa seseorang yang benar-benar menyatakan kenabian dengan memisahkan diri dari aliran berkah-berkah Nabi Muhammad saw dan jauh dari sumber suci dan sejuk tersebut guna menjadikan dirinya Nabi Allah maka berarti orang itu Mulhid Ateis. Kemungkinan besar orang pendakwa semacam itu akan membuat-buat Syahadat baru, menciptakan cara-cara ibadah baru dan mengubah hukum-hukum. Tidak diragukan lagi bahwa ia menjadi saudara dari Musailamah nan pembohong, tidak ada duanya dalam kekafirannya dan bagaimana mungkin benar perkataannya bahwa ia beriman pada Al-Qur’an?” Orang yang tidak keluar dari ketaatan kepada Nabi Muhammad saw bahkan mengikuti Syariat beliau saw maka menjadi mungkin mendapat kemuliaan dari Allah dengan kehormatan ini dan tidak mungkin selainnya mendapat kehormatan ini. Begitu pula seseorang yang keluar dari ketaatan terhadap beliau saw tidak dapat dianggap sebagai Muslim. Selanjutnya, beliau as menjelaskan hal ini lebih lanjut, “Kami orang Muslim…kami beriman kepada Kitab Allah, al-Furqaan nama lain Al-Qur’an. Di kalangan umat ini terdapat banyak Wali yang mana Allah Ta’ala bercakap-cakap memberi wahyu dan ilham kepada mereka. Mereka dianugerahi celupan warna kenabian meski pada kenyataannya mereka bukan Nabi. Sesungguhnya Al-Qur’an ialah Syariat sempurna. Mereka tidak dianugerahi kecuali dengan pemahaman Al-Qur’an. Mereka tidak menambah dan mengurangi darinya. Siapa yang menambah atau mengurangi dari Al-Qur’an maka ia termasuk setan yang celaka.” Kemudian beliau as menyebutkan mengenai keberkatan kedudukan khatamun nubuwwah Nabi Muhammad saw “نؤمن بأن سيدنا محمدًا نبيُّه ورسوله، وأنه جاء بخير الأديان. ونؤمن بأنه خاتم الأنبياء لا نبي بعده، إلا الذي رُبِّيَ مِن فيضه وأظهرَه وعدُه…. nu-minu bi anna sayyidana Muhammadan nabiyyuhu wa rasuuluh, wa annahu jaa-a bi khairil adyaan. Wa nu-minu bi annahu khaatamul anbiyaa-i laa Nabiyya ba’dah, illalladzii rubbiya min faidhihi wa azhharahu wa’duhu’ – “Kami beriman bahwa junjungan kami, Muhammad, adalah Nabi-Nya dan Rasul-Nya, dan beliau datang dengan sebaik-baik agama. Dan kami beriman bahwa beliau adalah khaatamul anbiyaa-i penghulu para Nabi, tiada Nabi setelah beliau, terkecuali yang dididik dari karunia jasa beliau dan ia muncul sesuai dengan janji beliau saw…” Sebagaimana juga Hadhrat Masih Mau’ud as dididik dengan ajaran beliau saw dan muncul sesuai nubuatan dari beliau saw ونعني بختم النبوة ختم كمالاتها على نبينا الذي هو أفضل رسل الله وأنبيائه، ونعتقد بأنه لا نبي بعده إلا الذي هو من أمّته ومن أكمَلِ أتباعه، الذي وجد الفيضَ كله من روحانيته وأضاء بضيائه… “Dan kami memahami mengenai khatmun nubuwwah ialah bahwa kesempurnaan-kesempurnaan keNabian telah khatam tersahkan pada Nabi kita, yang adalah termulia dari antara para rasul dan Nabi Allah, dan kita berkeyakinan bahwa tidak ada Nabi setelah beliau saw, kecuali yang mana ia itu dari umat beliau dan termasuk sempurna dalam mengikuti beliau saw, yang mana ia Nabi itu mendapatkan faidh karunia semuanya dari kerohanian beliau saw dan tersinari dari sinar terang beliau saw…” وهذا هو الحق الذي يشهد على بركات نبينا، ويري الناسَ حُسْنَه في حُلل التابعين الفانين فيه بكمال المحبة والصفاء، ومن الجهل أن يقوم أحد للمِراء، بل هذا هو ثبوت من الله لنَفْيِ كونِه أبتَرَ، ولا حاجة إلى تفصيل لمن تدبَّرَ. “Dan, inilah yang benar yang mana ia Nabi yang datang dari umat beliau saw itu bersaksi atas keberkatan-keberkatan Nabi kita, dan ia memperlihatkan kepada umat manusia keindahan beliau saw dalam jubah sebagai pengikut nan fana atas beliau saw dengan kecintaan yang sempurna lagi suci bersih, dan adalah termasuk kebodohan bagi seseorang yang berdiri untuk mencela hal ini; bahkan lebih dari itu, keyakinan kami ini menjadi dalil-dalil untuk menyangkal pendapat bahwa beliau saw adalah abtar tak berketurunan rohani; dan tak perlu penjelasan rinci bagi mereka yang mau merenungi dan menelaah lebih dalam.” وإنه ما كان أبا أحد من الرجال من حيث الجسمانية، ولكنه أب من حيث فيض الرسالة لمن كمّل في الروحانية. وإنه خاتم النبيين وعَلَمُ المقبولين. ولا يدخُل الحضرةَ أبدا إلا الذي معه نقشُ خاتمه، وآثار سنته، ولن يُقبَل عمل ولا عبادة إلا بعد الإقرار برسالته، والثباتِ على دينه وملته. “Dan sesungguhnya beliau saw itu bukanlah bapak seorang laki-laki pun dalam corak jasmaniah, tetapi beliau saw adalah sebagai bapak dalam corak karunia risalah kerasulan bagi mereka yang menyempurnakan diri dalam kerohanian. Dan sesungguhnya beliau saw adalah khatamun Nabiyyiin penghulu para Nabi dan alamul maqbuuliin Tanda kategori orang-orang yang diterima Ilahi. Tiada satu pun yang dapat masuk menghadap al-Hadhrat Yang Mulia lagi Maha Tinggi, Tuhan selama-lamanya kecuali dia yang padanya terdapat cap stempel pengesahan beliau saw, jejak-jejak sunnah kebiasaan beliau saw, dan tidak akan diterima sesuatu amal perbuatan dan juga ibadah kecuali setelah mengakui dan menerima risalah kerasulan, pengutusan beliau saw, dan tetap teguh atas agama dan ajaran beliau saw.” وقد هلك من تركه وما تبِعه في جميع سننه، على قدر وُسْعِه وطاقته. ولا شريعةَ بعده، ولا ناسخَ لكتابه ووصيته، ولا مبدِّلَ لكلمته، ولا قَطْرَ كمُزْنتِه. ومن خرج مثقالَ ذرّة من القرآن، فقد خرج من الإيمان. ولن يفلح أحد حتى يتّبع كلَّ ما ثبت من نبينا المصطفى، ومن ترَك مقدار ذرة من وصاياه فقد هوى. “Dan hancurlah orang yang meninggalkan beliau saw dan tidak mengikuti beliau dalam segala sunan kebiasaan, perilaku beliau saw, sesuai kemampuan kelapangan dan kekuatannya. Dan, tidak ada syariat lagi setelah beliau saw; dan tidak ada yang dapat menghapus kitab beliau saw dan wasiat beliau saw; dan tidak ada yang mengubah kalimat beliau saw; dan tidak ada cucuran air hujan [karunia] yang sebanding dengan beliau saw; dan siapa yang keluar sejarak satu dzarrah saja dari al-Qur’an, maka ia telah keluar dari wilayah keimanan. Dan tidak akan berjaya seseorang hingga ia mengikuti setiap yang terbukti jelas dari Nabi kita al-Mushthafa, dan siapa yang meninggalkan satu dzarrah saja wasiat beliau saw maka ia telah melampaui batas.” ومن ادّعى النبوة من هذه الأمة، وما اعتقد بأنه رُبّيَ من سيدنا محمدٍ خيرِ البريّة، وبأنه ليس هو شيئا من دون هذه الأسوة، وأن القرآن خاتم الشريعة، فقد هلك وألحَقَ نفسه بالكفَرة الفجَرة. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dari umat ini Islam, dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya itu dididik dari Nabi kita, Muhammad, sebaik-baik makhluk, dan dia anggap beliau saw tidak penting sebagai teladan, dan dia anggap tidak penting al-Qur’an sebagai khatamusy syari’ah, maka ia benar-benar telah rusak dan telah mengotori dirinya sendiri dengan kekafiran dan dosa.” ومن ادعى النبوة ولم يعتقد بأنه من أمته، وبأنه إنما وجَد كلَّ ما وجَد من فيضانه، وأنه ثمرة من بستانه، وقطرة من تَهْتَانِه، وشَعْشَعٌ من لمعانه، فهو ملعون ولعنة الله عليه وعلى أنصاره وأتباعه وأعوانه. “Sesiapa yang menyatakan keNabian dan ia tidak berkeyakinan bahwa dirinya dari umat beliau saw, ia tidak berkeyakinan ia telah memperoleh apa-apa yang ia dapatkan berasal dari keluhuran beliau saw; dan ia tidak berkeyakinan itu adalah buah dari kebun beliau saw; itu adalah butiran-butiran yang jatuh dari hujan lebat beliau saw, dan ia tidak berkeyakinan itu adalah seberkas tebaran sinar dari kilauan cahaya beliau saw, maka ia adalah mal’uun terkutuk, dan kutukan Allah atasnya, atas para penolongnya, atas para pengikutnya dan semua agen penyokongnya.” Jelas bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as dalam sabda ini tidak tengah mengutuk diri beliau sendiri dan Jemaat beliau. Melainkan, maksudnya beliau paham benar bahwa aliran-aliran berkah ruhaniah lebih banyak beliau peroleh dibanding orang-orang lainnya dengan melalui mengikuti Nabi Muhammad saw dan beliau mencapai martabat yang mana Allah memberi beliau kemuliaan dan kehormatan serta menjadikan beliau as sebagai Nabi yang mengikuti Nabi Muhammad saw dan tanpa syariat baru. Beliau as melanjutkan, لا نبيَّ لنا تحت السماء من دون نبيّنا المجتبى، ولا كتابَ لنا من دون القرآن، وكلُّ من خالفه فقد جرّ نفسه إلى اللظى”. Laa Nabiyya lanaa tahtas samaa-i min duuni Nabiyyina al-Mujtabaa, wa laa kitaaba lana min duunil Qur’aan, wa kullu man khaalafahu faqad jarra nafsahu ilal lazhzha.’ “Bagi kita tidak ada Nabi di bawah bentangan langit ini selain Nabi kita, al-Mujtaba Yang Istimewa, Nabi Muhammad saw dan tiada kita bagi kita selain al-Qur’an, dan setiap orang yang menentangnya maka ia telah melarikan jiwanya menuju api yang menyala-nyala.” Hadhrat Masih Mau’ud as telah menjelaskan tempat yang tak terhitung dan menyebutkan kedudukan beliau dalam konteks ini dan bersabda bahwa jika umat Muslim teguh dalam agamanya dan mengikuti Nabi Muhammad saw secara benar tentu kedatangan beliau tidak diperlukan. Hadhrat Masih Mau’ud as telah berkali-kali menjelaskan makna dan kedudukan yang sebenarnya dari Khataman Nubuwwah, dan juga perihal kedudukan beliau yang sesungguhnya. Dalam satu tempat beliau bersabda “Dari segi permisalan duniawi, Khataman Nubuwwah itu seibarat bulan sabit yang pada empat belas hari kemudian secara berangsur-angsur mencapai tahap kesempurnaan yang disebut sebagai Badr. Demikian juga kualitas dan keunggulan kenabian mencapai kesempurnaannya pada Rasulullah saw. Mereka yang mengimani secara paksa bahwa kenabian telah berakhir dan tidak perlu mengunggulkan Nabi Muhammad saw diatas Yunus ibn Mata, sebenarnya mereka tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Mereka tidak tahu keutamaan-keutamaan dan keunggulan-keunggulan Nabi saw. Meskipun kelemaham pemahaman mereka ini dan sedikitnya ilmu mereka ini, mereka menuduh kita mengingkari Khataman Nubuwwah. Mereka tidak paham Khataman Nubuwwah dan mereka menuduh kita menolak Khataman Nubuwwah Apa yang harus saya katakan kepada mereka yang sakit dan bagaimanakah saya berprihatin atas mereka? Jika mereka tidak sampai derajat ini dan tidak menjauh dari hakikat Islam, apa perlunya saya datang? Keimanan mereka telah amat melemah. Mereka tak paham pemahaman mengenai Islam dan tujuannya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada sebabnya mereka memusuhi orang benar dengan permusuhan yang sampai membuat yang memusuhi mengarah pada kekafiran.” Artinya, beliau as yang berada dalam kebenaran dan yang diutus oleh Allah serta mengimani Rasul itu Nabi Muhammad saw dengan keimanan sempurna dan meyakininya apakah ada hujjah dasar alasan untuk menentangnya? Tidak akan ada hujjah yang dapat menentang Al-Masih yang dijanjikan karena permusuhan terhadap seorang utusan ALlah menjadikan seseorang sebagai orang ingkar. Orang-orang yang mengkafirkan akan menjadikan dirinya keluar dari daerah Islam sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits Nabi Muhammad saw juga. Mereka yang menyebut kita kafir dan mendasarkan diri pada tuduhan-tuduhan ini maka tuduhan kafir mereka itu akan berbalik pada mereka. Kita katakan kepada umat Muslim yang mengucapkan dua kalimah Syahadat dengan penuh simpati, “Kasihanilah keadaan kalian. Perhatikanlah! Renungkanlah apa yang ALlah Ta’ala inginkan dari kalian dan apa yang Dia firmankan pada kalian.” Kutipan-kutipan dari Hadhrat Masih Mau’ud as yang saya sampaikan ini semoga menjadi wasilah sarana hidayah bagi umat Muslim yang baik dan membuat mereka merenungi keadaan diri mereka daripada fokus menuduh kita. Setelah pengajuan isu pembaharuan pengubahan di Majelis Nasional Pakistan mengenai perubahan pasal-pasal dalam konstitusi [diantaranya mengenai hak-hak orang Ahmadi menjadi anggota militer dilarang], beberapa hari kemudian seorang anggota parlemen membuat pidato yang isinya menghasut tanpa sebab. Pidato tersebut tidak hanya ditujukan untuk memanaskan perasaan para anggota majelis yang terhormat saja, namun juga mencoba untuk menyulut kemarahan masyarakat umum dan menyebabkan kekacauan di seluruh Negara, sehingga seluruh rakyat bangkit untuk memusuhi Ahmadiyah. Dia juga ingin membuktikan bahwa dia adalah seorang pemimpin dan sangat setia pada negara ini. Ia melakukannya untuk mendapatkan kehidupan politik baru, namun dia telah dikecam oleh beberapa orang bijak dari kalangan politisi, media dan bangsawan. Diharapkan sekelompok orang berjiwa mulia di Pakistan mulai muncul dan menaikkan suaranya terhadap tatanan yang salah dan mengatakan kepada orang ini tentang fakta dan kenyataan keberatan atasnya. Anggota Parlemen tersebut berkata, “Suatu keharusan kita untuk tidak menamai Departemen Fisika di Universitas Qaid-e-A’zham Pemimpin Besar, julukan untuk Pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah dengan nama Doktor Abdus Salam karena dia orang kafir dan tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah.” Anggota ini seharusnya berpikir bahwa yang melakukan penamaan tersebut adalah Perdana Menteri dan pemimpin partainya sendiri, dan tidak hanya itu, bahkan dia adalah ayah mertua dari anggota parlemen ini. Mengapa dia tidak menunjukkan sentimennya saat proses penamaan berlangsung, dan mengapa dia menunjukkannya sekarang? Apakah hanya karena partainya dituduh melakukan korupsi dan ia berpikir satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan meluncurkan pernyataan menentang Jemaat. Para Ahmadi tidak terpengaruh apakah kalian menamai lembaga sains itu dengan nama Dr. Abdus Salam atau tidak. Bahkan, orang terdekat almarhum Dr Abdus Salam, salah seorang putranya menulis kepada Perdana Menteri sebuah surat pada hari penamaan lembaga itu dengan nama ayahnya yang mana surat itu tidak pernah mereka tanggapi balas. Salah seorang putra Doktor Abdus Salam menulis namanya dan atas nama seluruh anak-anaknya dalam surat itu “Kami sangat heran bahwa pemerintah Pakistan baru ingat setelah dua puluh tahun kewafatan Dr Abdus Salam untuk menamai sebuah departemen dengan nama fisikawan terkenal ini.” “Konstitusi Pakistan menamai ayah saya sebagai non Muslim, dan ayah saya ini terkejut karena itu, tapi beliau tidak pernah menyerahkan kewarganegaraannya kebangsaannya sebagai warga Pakistan dengan menjadi warga Inggris, Italia dan bahkan India padahal ketiga Negara itu menawarinya pemberian kewarganegaraan, tetapi beliau menolak dan berkata Saya adalah seorang yang setia kepada Pakistan. Saya akan tetap setia kepadanya selamanya sebagaimana saya akan terus berusaha untuk kepentingan Pakistan, dan telah serta masih melakukannya.’ Singkatnya, anak-anak Dr Abdus Salam menulis surat kepada Perdana Menteri, “Kami adalah orang-orang Muslim dan terkait dengan Jemaat Ahmadiyah demi Allah Ta’ala saja dan kami mengimani Hadhrat Masih Mau’ud as, maka dari itu, kami, keluarga Dr Abdus Salam dan putra/inya berlepas diri dari keputusan pemerintah ini daripada bersukacita karena hak-hak kami dicuri di Pakistan serta akidah-akidah kami tidak diakui sebagaimana yang kami katakana tersebut di atas.” Ini adalah reaksi dari anak-anak Dr Abdus Salam. Jika parlemen Pakistan ingin mengubah nama lembaga tersebut silakan mengubahnya. Keluarga Dr. Abdus Salam atau Jemaat tidak peduli tentang hal ini. Pengkritik itu pun mengatakan, “Jangan mempekerjakan para Ahmadi dalam ketentaraan.” Padahal sejarah Pakistan hingga sekarang menjadi saksi bahwa para Ahmadi yang berdinas di ketentaraan semuanya berkorban demi negara mereka. Merupakan sebuah hal yang umum bahwa mereka yang mengorbankan jiwa ialah para tentara biasa atau perwira berpangkat rendah dari Kapten atau Mayor, namun para Ahmadi meski telah berpangkat Brigadir juga, mereka ikut bertempur di garis depan bersama para tentara dan disyahidkan juga. Media massa di Pakistan juga mengakui dan menulis, “Fakta-fakta telah jelas. Itu ialah tuduhan batil.” Lalu Media itu pun menginformasikan tentang Jenderal Akhtar, Jenderal Ali dan Jenderal Iftikhar yang telah disyahidkan gugur dalam pertempuran membela Pakistan. Adapun anggota Parlemen yang mengkritik ini dan menyampaikan pidato bodoh ialah seorang Kapten dalam ketentaraan lalu berhenti dari dinas ketentaraan karena ia menjadi tentara putra Perdana Menteri, berlomba mengumpulkan harta dan bergabung dalam politik. Jika ia benar-benar cinta tanah air maka seharusnya ia tetap dalam dinas ketentaraan dan berkorban demi negara. Tuduhan lain yang ditujukan terhadap Ahmadiyah adalah orang-orang Ahmadiyah tidak mengabdi pada negaranya serta tidak setia. Tapi saya bisa katakan dengan penuh keyakinan bahwa hari ini hanya para Ahmadi yang mengikuti dan mengamalkan ajaran حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ “Hubbul Wathani Minal Iman”. Di jalan itu, para Ahmadi bersedia mengorbankan jiwa dan harta mereka, dan sekarang sedang melakukannya. Para Ahmadi bukanlah seperti mereka yang berpidato untuk kepentingan politik. Kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik melainkan kami siap mengorbankan hidup kami demi agama. Kami bukanlah orang-orang yang sibuk memunculkan pandangan kami ini demi keuntungan politis dan untuk itu mengorbankan tumpahnya darah atas nama agama. Kami percaya dengan sepenuh hati bahwa Hadhrat Rasulullah saw adalah Khataman Nabiyyin. Untuk menjaga kehormatan beliau saw, kami siap mengorbankan diri kami, dan ini yang kami lakukan dan Insya Allah, kami masih dan akan terus berkorban. Adalah kewajiban para Ahmadi yang menetap di Pakistan agar berdoa semoga Allah Ta’ala melindungi Negara tempat para Ahmadi telah berkorban amat banyak untuknya dari sejak awal hingga sekarang. Semoga Allah Ta’ala menjaga negara tersebur dari pemerintahan tirani yang menindas dan dari para ulama yang mementingkan dirinya sendiri. Semoga Pakistan termasuk diantara Negara yang merdeka dan beradab di dunia. aamiin Penerjemah Dildaar Ahmad Dartono & Yusuf Awwab ________________________________ [1] Barahin-e-Ahmadiyya [2] Malfuzhat, jilid I, halaman 342, edisi 1985, terbitan UK [3] Malfuzhat, jilid I, halaman 341-342, edisi 1985, terbitan UK [4] Al-Hakam, jilid 3, nomor 1, hlm. 6-9 pada tanggal 10/1/1899 [5] مواهب الرحمن، الخزائن الروحانية المجلد 19، الصفحة 285-287 Mawahibur Rahman, Ruhani Khazain jilid 19, h. 285-287, terjemahan dari bhs Arab [6] Malfuzhat jilid 1. [7] Jenderal Akhtar Husain Malik, atas peranannya dalam perang India-Pakistan, hampir seluruh Kashmir jatuh ke tangan Pakistan pada 1965. Namun, komando beliau diganti di tengah-tengah kemenangan yang hampir penuh itu dan kembali Pakistan dipukul mundur tentara India; Jenderal Abdul Ali Malik, Jenderal yang berperan penting menahan laju dan memundurkan tentara dan tank-tank India yang tengah maju membelah Pakistan menjadi dua bagian. Selain mereka, berperan juga Brigadir Iftikhar Janjua, Jenderal Iftikhar Janjua, sejumlah Mayor dan Kolonel Ahmadi. Demikian pula, para Komodor dan pilot Ahmadi. [8] Menantu Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, yaitu Kapten
DariNabi dan Rasul yang berjumlah 25 orang, Nabi pertama sekaligus manusia pertama dalah Nabi Adam as. Dan Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul yang disebut. B. Arab, Sekolah Menengah Atas. Jawaban: rasulullah SAW mendapatkan julukan khataman nabiyyin. mempercayai keberadaan nabi dan Rasul termasuk rukun iman yang ke

Memaknai Ayat Khataman Nabiyyin 1 Saya coba mengulas salah satu Ayat pada Al-Ahzab tepatnya ayat 40 yakni mengenai Nabi Muhammad SAW apakah sebagai wakhaatama alnnabiyyiina ataukah walaakin rasuula allaahi wakhaatama alnnabiyyiina. Untuk menjelaskan kedua macam pendapat ini akan dikupas satu persatu ayat tersebut. Haruslah dimengerti, bahwa kedatangan AlQuran ke atas dunia adalah untuk menghilangkan segala macam perselisihan dan pertengkaran, dan untuk menghilangkan segala macam kesamaran dan keraguan yang mungkin timbul dalam kalangan ummat manusia, mari kita lihat baik-baik apa yang diterangkan sebelum dan sesudah ayat Khataman Nabiyyin. Perkataan “khataman nabiyyin” saja, belumlah dapat dibentuk satu kalimah yang dari padanya dapat dijadikan sebagai satu pengertian, atau satu kabar. Susunan perkataan “khataman nabiyyin” itu adalah murakab, yang dinamakan dengan “murakab idhafi” yang tidak dapat dijadikan sebagai hukum atau satu kejadian yang menjadi satu dalil. Satu mufrad singular yang belum menjadi kalimah sentence, dan hubungannya belum di­nyatakan sebagai satu hukum atau undang-undang, tidak dapat dijadikan sebagai satu dalil oleh seseorang, dan tidak pula dapat dijadikan sebagai mukaddimab bagi sesuatu dalil. Yang benar ialah, supaya ayat itu disebutkan dalam bentuk keseluruhan­nya, dibacakan sebelum dan sesudah ayat itu, dan ayat-ayat yang lain harus diperhatikan pu­la supaya bisa dimengerti untuk apakah perkataan “khataman nabiyyin” itu diletakkan dalam kalimat, dan apa maksudnya? Keseluruhan ayat itu berbunyi “Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum Walakin Rasulallah Wa khataman nabiyyin. Wa kanallahu bikuili syai’in alima”. Ayat ini terdiri empat bagian 1 Maa kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum. 2 Walakin Rasulallah. 3 Wa khataman nabiyyin. 4 Wa kanallahu bikuili syai’in alima. Bagian pertama dari ayat ini sudah jelas dan sudah terang maksudnya, bahwa Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki kamu. Hubungan ayat ini dengan ayat yang sebelumnya, bahwa telah terjadi perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan Zainabrta yang telah diceraikan oleh Zaid sebagai suaminya. Pada waktu sebelumnya Zaid itu telah diangkat sebagai anak oleh Nabi Muhammad SAW, sedangkan Zaid bukanlah berasal dari nutfah beliau dan hanya sebagai anak angkat saja. Disebabkan perkawinan beliau dengan bekas isteri anak angkat beliau itu, maka dikhawatirkan sangat, bahwa jangan-jangan menjadi satu celaan dari pihak lain, bahwa beliau telah mengawini menantu beliau yang tidak dibenarkan oleh adat orang-orang Quraish Arab di masa itu. “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kamu sebagai anak-anak kandung kamu. Yang demikian itu adalah omongan kamu dengan mulut kamu” Al­Ahzab 5 Menyamakan anak angkat dengan anak kandung sendiri dalam segala hal, tidaklah dibenarkan Tuhan. Jangankan Zaid, sedangkan dari golongan laki-lakimu yang begitu banyak, seorang pun tidak ada yang menjadi anak dari Muhammad, dan beliau bukanlah bapak kamu. Kenapa Muhammad tidak bolen kawin dengan seorang janda yang sudah diceraikan oleh suaminya, apalagi Zaid itu bukanlah anak kandung dari Muhammad? Ini adalah penjelasan dari ayat bagian pertama. Perkataan “Lakin” diperguna­kan untuk menghilangkan keraguan yang timbul pada kalimat yang sebelumnya. Bagian kedua dari ayat tadi “walakin RasulaIlah” tetapi adalah utusan Allah. Dalam bagian ayat ini terdapat perkataan “lakin” yang artinya “tetapi”. Selamanya perkataan “lakin” dipergunakan untuk menghilangkan sesuatu kesamaran atau keraguan yang timbul dalam kalimat yang sebelumnya. Dalam Muslim Isubut diterangkan tentang perkataan “lakin” begini “Lakin khafifatan was­taqilatan lil istidraki. Wahua raf’ut tawahhunii nasyi-u anis­sabiqi. Wasyartuhul ikhtilafu kaifan wa ma’nan”. “Lakin” itu baik ia khafifah atau staqilah, adalah gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, yaitu menghilangkan keraguan yang terjadi dalam kalimat yang sebelumnya. Dan syaratnya ada­lah berlawanan dalam segi kaifiat dan makna. Dalam kitab Syarah Jami diterangkan “Wa lakin lil istidraki. Wama’nal istidraku raf’u tawahhamu yatawalladu minal kalamil mutaqaddamu tawassatu baina kalamaini mutaghayyaraini nafyan wa isbatan ma’nan ai taghayyuran ma’nawiyyan. Waddaruriyyu hua lima’ nawiyyin”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Yang dikatakan istidrak, ialah menghilangkan keraguan yang timbul atau terjadi pada kalimat yang sebelumnya. Ia terletak diantara dua buah kalimat yang berlainan dalam hal mengiakan dan menidakkan menurut arti dan makna, dan yang terpenting dalam segi makna. Dalam kitab Tahzibut Taudhih juz pertama, halaman 79 ada tertulis “Lakin wahia lil istidraki. Wahua ta’qibul kalam binnafyi ma yatawahhamu tsubutuhu au bi itsbati ma yatawahhamu nafyuhu. Famitsalul awwali Aliyyun syuja’un lakinnahu bakhilun. Rufi’at bilakin tawahhamu annahu karimum limulazimatil karamusy syuja’ah. Wamitsasus tsani qauluka Ibrahimu jubbanun, lakinnahu karimum. Atsbata bihal karamul lazi yatawahhamu nafyuhu min itsbatil jubnu”. “Lakin” itu gunanya untuk istidrak. Ia mengiringi kalimat dengan nafi apa yang diragukan oleh tsubutnya. Atau meitsbatkan menetapkan apa yang diragukan oleh nafinya tidaknya. Misal yang pertama seperti Si Ali orang berani, tetapi, ia kikir. Dengan perkataan “lakin”, maka hilanglah sangka-sangka yang menganggap ia seorang yang pemurah, karena menurut yang biasa, apabila ada sifat keberanian, sudah barang tentu mesti ada sipat pemurah. Misal kedua Ibrahim seorang pengecut, tetapi ia pemurah. Dengan perkataan “lakin” maka hilanglah syak wasangka buruk yang terdapat pada perkataan pengecut. Dan sekarang ia menjadi orang yang terhormat. Tentang ayat yang bersangkutan. Sekarang datang pertanyaan, keraguan apakah yang terjadi dalam ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, yang menyebabkah perlu didatangkan perkataan “lakin” sesudahnya? Untuk menjawab pertanyaan itu, adalah; 1 Jika benarlah nabi Muhammadsaw bukan bapak dari salah seorang laki-laki, tetapi kenapa ayat 6 dalam surat Al-Ahzab ini juga mengatakan “Wa azwajuhu ummahatukum” Isteri-isteri Muhammad adalah ibu kaum? Kalau semua isteri Nabi Muhammad sudah menjadi ibu, sudah tentu beliau sendiri sudah menjadi bapak. Tetapi tentang beliau menjadi bapak, ditidakkan dan dibatal­kan oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rija­likum” Muhammad itu bukan­lah bapak dari salah seorang laki­laki kamu. Apakah ini tidak menjadi satu keraguan? Apakah itu tidak satu pertentangan, atau satu kontradiksi, atau satu ta’arrudh namanya. Tidakkah ini menjadi satu celaan pula terhadap Quran? Apakah ini tidak bertentangan dengan ayat “La raiba fihi hudan lil muttaqin”? Jika benarlah Nabi Muhammad itu tidak boleh dipanggilkan se­bagai bapak karena beliau tidak mempunyai seorang anak laki­laki pun yang hidup sampai dewasa, dan tidak boleh pula seorang laki-laki pun menisbahkan membangsakan dirinya kepada Nabi Muhammadsaw, tentu tidak benar pula apa yang difirmankan Tuhan terhadap musuh beliau “Inna syaniaka hual abtar” Yang putus keturunannya ialah musuh-musuh engkau. Kalau Nabi Muhammad tidak boleh dikatakan bapak, maka samalah nasib beliau dengan nasib musuh beliau sama-sama tidak mempunyai keturunan lagi. Meskipun beliau ada mempunyai anak perempuan, tetapi itu tidaklah masuk bilangan dan yang dihitung adalah anak laki-laki. Jalan Keluar Sebagai jalan keluar dari persoalan yang rumit musykil ini, untuk menghilangkan segala macam keraguan itu, maka didatangkanlah perkataan “lakin” dan di belakang perkataan “lakin” disusulkan perkataan “rasulullah”. Kenapa disusulkan oleh perkataan “rasulullah” dan apakah hikmahnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah simak apa yang dikatakan oleh yang Hadhrat Nawab Siddiq Hasan Khan dalam tafsir Fathul Bayan yang keterangannya dikutip dari Nafsi. Dalam Nafsi diterangkan “Wakullu rasulin abu ummatihi fima yar­ji’u ila ujubit tauqiri lahu alai­him. Wawujubisy syafqati wan­nasihati lahum alaihi”. Telah berkata Nafsi Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Wajib bagi ummat menghormati dan memuliakan­nya. Dan wajib pula bagi nabi berlemah lembut dan menasehati mereka. Dalam Jamal Syarah Jalalain ada tertulis “Wakullu rasulin abu ummatihi”. Dan tiap-tiap rasul itu adalah bapak ummat­nya. Tersebut dalam Tafsir Khazin, jilid 5, halaman 219 “Inna kul­lu rasulin hua abu umatihi”. Tiap-tiap rasul itu adalah bapak bagi ummatnya. Penjelasan Dengan mendatangkan perkataan “rasulullah” sesudah per­kataan “lakin” sekarang mulalah cerah cuaca gelap yang ditimbulkan oleh hal tidak diakuinya Nabi Muhammad saw. oleh Tuhan sebagai bapak dari salah seorang laki-laki, karena bapak yang dimaksud oleh ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum”, adalab bapak secara jasmani dan bukan bapak secara rohani. Bahwa beliau sebagai bapak rohani, tetap diakui, karena beliau adalah seorang Rasul Allah dan Rasul Allah itu, adalah bapak dari umatnya, yaitu bapak rohani. Tambahan lagi ayat 7 yang mengatakan “wa azwajuhu umma­hatukum” semua isteri beliau adalah ibu mereka, yaitu ibu bagi orang-orang mukmin, yang dimaksudkan ibu disini adalah ibu rohani, bukan ibu jasmani. Dengan penjelasan ini, maka maksud bagian kedua dari ayat “ma kana Muhammadun” tadi sudah jelas sekarang, yaitu 1Bahwa Nabi Muhammad itu bukanlah bapak menurut arti jasmani, tetapi beliau adalah bapak dalam arti rohani. 2Isteri-isteri beliau kesemuanya bukanlah ibu dalam arti jasmani, tetapi beliau itu adalah ibu dalam arti rohani pula. Dengan jalan begini, tidak ada kontradiksi lagi antara ayat 7 dengan ayat 41. Dengan keterangan ini, hilanglah semua keraguan serta kesamaran yang timbul pada ayat “ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum” dan semua keraguan serta kesamaran itu dilenyapkan oleh perkataan “lakin” yang dipergunakan untuk istidrak. Tafsir ayat bagian ketiga Bagian ketiga dari ayat tadi adalah “khataman nabiyyin”. Orang-orang mengatakan bahwa “khataman nabiyyin” itu adalah penutup nabi-nabi, penghambat bagi kedatangan nabi, nabi yang penghabisan, nabi yang terakhir, penutup rantai kenabian dlsb. Sekarang marilah kita periksa, apa arti yang sebenarnya dari “khataman nabiyyin” itu, apakab hubungan antara ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Kalau ayat “khataman nabiy­yin” itu diartikan dengan arti yang tersebut di atas, adakah ia sesuai menurut mahal atau tempat? Perkataan “khataman na­biyyin” bukanlah satu kalimat atau sentence yang dapat dikatakan, bahwa ia dengan secara langsung dipergunakan untuk menjawab satu pertanyaan, dan ia mempunyai satu pengakuan. Tetapi ia adalah satu mufrad atau singular yang tanpa hubungan dengan yang sebelumnya tidak mempunyai arti apa-apa. Dan untuk satu hukum, ia tidak dapat menentukan. Sekarang yang harus kita perhatikan, apakah ia terpisah letaknya dalam kalimat, ataukah ia terikat dengan kalimat yang sebelumnya. Perhatikanlah tentang waw’athaf Untuk mengetahui bahwa perkataan “khataman nabiy­yin” itu bukanlab satu kalimat atau sentence yang berdiri sendiri, dan ia mempunyai hubungan dengan kalimat yang sebelumnya, adalah mudah sekali, karena sebelum perkataan “khataman nabiyyin” terdapat satu huruf yang disebut huruf athaf, yaitu waw. Huruf athaf ini kerjanya untuk menyatukan, atau untuk memperhubungkan antara satu bagian kalimat atau satu perkataan dengan bagian kalimat atau dengan perkataan lain dalam sebuah kalimat, yang dalam grammar bahasa Inggeris dapat disebutkan conjuction. Perkataan atau bagian kalimat yang terletak di belakang “waw” ini tidak dapat memi­sahkan diri dari perkataan atau kalimat yang terletak sebelumnya. Di waktu kalimat itu berbentuk satu jumlah sekalipun, yang ada mempunyai tanggung jawab, ia tidak dapat mengasingkan dirinya dari kalimat sebelumnya, konon pula lagi ketika ia berbentuk mufrad atau singular. Ringkasnya, sebelum perkataan “khataman nabiyyin” ada “waw” yang dikatakan huruf athaf. Arti athaf ialah memalingkan dan mengembalikan. Huruf athaf adalah satu huruf yang memalingkan atau mengembalikan. Kalimat atau perkataan yang terletak di belakangnya dinamai “’Ma’thuf”, dan kalimat atau perkataan yang sebelumnya dinamai “ma’ thuf alaih”. Huruf “waw” memutar kalimat atau perkataan yang di belakangnya dan mempersatukannya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Keadaan apa yang terjadi pada kalimat atau pada perkataan yang sebelumnya, jadi pula pada kalimat atau perkataan yang ada di belakangnya, dan hukum kedua kalimat itu di­satukannya, yakni kedua kalimat itu dijadikannya menjadi satu corak. Apa yang dinisbahkan kepada yang pertama, dinisbahkannya pula kepada yang kedua. kita ambil contoh sebuah misal, yaitu “Ja-a Zai­dun wa’ Umarun” Telah datang si Zaid dan si Umar. Antara perkataan Zaid dan Umar, terdapat huruf “waw” yang dinamakan huruf athaf dan arti “waw” itu “dan”. Maksud dan fungsi “waw” itu mengembalikan, membalikkan, memutar Umar kepada Zaid. Kedua-duanya, Zaid dan Umar, sama-sama dijadikan berkongsi dalam satu pekerjaan, yaitu datang. Sebagaimana kerja Zaid “datang”, begitu pula kerja Umar “datang”. Pekerjaan “datang” adalah perbuatan Zaid dan Umar. Satu misal lagi “Dharabtu Zai dan wa Umaran” Saya telab memukul Zaid dan Umar. Dalam kalimat ini penanggungan Zaid dan Umar adalab sama, yaitu sama-sama kena pukul. Tidaklah mungkin Zaid saja yang kena pukul, sedangkan Umar tidak. Tegasnya huruf “waw” adalah semacam huruf yang menyatukan hukum antara kalimat atau perkataan yang di belakangnya dengan kalimat atau perkataan yang sebelumnya. Tidaklah bisa jadi dan tidaklah mungkin, bahwa atau perkataan yang sebelumnya lain maksudnya, dan kalimat atan perkataan yang di belakang lain pula maksudnya. Sekarang marilah perhatikan ayat khataman nabiyyin bagian ketiga dari pembagian tadi, dan apakah hubungannya dengan ayat wa lakin rasulullah, yang termasuk dalam bagian kedua dari ayat itu? Oleh karena antara ayat rasulullah dan ayat khataman nabiyyin terdapat “waw athaf” yang mengembalikan dan yang mempertemukan perkataan khataman nabiyyin dengan perkataan rasulullah, maka untuk apa perkataan rasulullah itu dipergunakan, untuk itu pulalah perkataan khataman nabiyyin itu dipergunakan. Tidaklah mungkin bahwa perkataan rasulullah itu dipergunakan untuk suatu maksud tertentu, tetapi perkataan khataman nabiyyin datang untuk membatalkan maksud itu. Sudah pastilah., bahwa apa yang sedang ditentukan oleh perkataan rasulullah, dikuatkan oleh perkataan khataman nabiyyin. Dalam uraian di atas tadi sudah diterangkan, bahwa perkataan rasulullah yang terdapat pada ayat yang sedang dibicarakan gunanya adalah untuk menyatakan, bahwa Nabi Muhammad saw. adalah seorang bapak dalam segi kerohanian, yaitu beliau adalah bapak bagi kese­luruhan orang-orang mukmin. Manakala sudah jelas apa yang dimaksudkan oleh perkataan rasulullah, yaitu bapak rohani, sudah pasti bahwa kedatangan perkataan khataman nabiyyin dalam ayat ini adalah gunanya untuk menyempurnakan maksud dari perkataan rasulullah itu. Satu hal yang tidak mungkin, bahwa kepada ma’thuf alaih dinisbahkan satu ketentuan yang tertentu, tetapi kepada ma’thuf dinisbahkan hal yang lain. Ti­daklah mungkin, bahwa apabila dikatakan “Ja-a Zaidun wa Umarun” telah datang si Zaid dan si Umar, terhadap Zaid dinisbahkan perkataan datang, tetapi terhadap si Umar dinisbahkan perkataan duduk. Wallauhua’alam Ber­sambung.

AllamahIbnu Khaldun rh seorang ahli tasawuf menulis dalam kitabnya bahwa kata ‘ Khataman Nabiyyin ‘ diartikan dengan اَالنَّبِيُّ الَّذِيْ حَصَلَتْ لَهُ النُبُوَّةُ الْكَامِلَةُ Artinya: “Nabi yang telah mendapat kenabian yang sempurna.” ( Muqaddimah, pasal 52)
ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Rate This ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Ayat KS Aquran Quran Suci/QS Surat Al Ahzab 3340 A’udzubillah himinasy-syaithan …… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi. Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri. Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik ayat 1, dalam hal status anak angkat dll., menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri ayat 4, tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka ayat 5, dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin. Selain yang artinya penutup yaitu khatim ada banyak arti dari kata Khatam yaitu Cincin, perhiasan bagi yang memakainya, meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup khatim, terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya 1. Nabi bersabda kepada Hadhrat Ali Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia khatam dari Wali-wali Tafsir Safi & Jalandari, benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali. 2. Imam Safi’i 767-820 juga disebut “khaatam-ul auliya” Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45. 3. Rasulullah berkata kepada Umar Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. Kanzul Umal. 4. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top mulia 5. Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh? 6. Abu Tamaam At-Ta-i 804-805 ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara Ahli syair. Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo. Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? 7. Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H. 8. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits Hadya Al-Shiah, hal. 210. 9. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim Mirtusuruh hal. 38, Khatam Al-Hukkam. 10. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271, Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi. Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini. Kepercayaan tentang Nabi Muhammad adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval pertengahan , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman. Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini 1. KHATAM-USH-SHU’ARAA seal of poets was used for the poet Abu Tamam. Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo. 2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian 3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Ala Alme’ry. ibid, footnote. 4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. Hayati Sa’di, p. 117. 5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. Hayati Sa’di, p. 87 Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time. 6. KHATAM-AL-AULIYAA seal of saints for Hazrat Ali May God be pleased with him. Tafsir Safi, Chapter AlAhzab Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last? 7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45. 8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul Arabee. Fatoohati Makkiyyah, on title page. 9. KHATAM-AL-KARAAM seal of remedies used for camphor. Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304 Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”? 10. KHATAM-AL-A’IMMAH seal of religious leaders used for Imam Muhammad Abdah of Egypt. Tafseer Alfatehah, p. 148 Don’t we have leaders today? 11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN seal of crusaders for AlSayyad Ahmad Sanosi. Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN seal of research scholars used for Ahmad Bin Idrees. Al’Aqadun Nafees 13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Abul Fazl Aloosi. on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee 14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. Al Haraab, p. 372 15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. Title page of Tafseerul Taqaan 16KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. ’Ijaalah Naafi’ah, vol. 1 17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ seal of custodians for AlShaikh Shamsuddin. AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4 A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it. 18. KHATAM-AL-AULIA seal of saints used for the greatest saint. Tazkiratul Auliyaa’, p. 422 19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. Fatoohul Ghaib, p. 43 20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA seal of jurists used for Al Shaikh Najeet. Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators or exegetes for Shaikh Rasheed Raza. Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. Tafseerul Akleel, title page 23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Al Shaikh Muhammad Najeet. Al Islam Asr Shi’baan, 1354 24. KHATAM-AL-WALAAYAT seal of sainthood for best saint. Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271 25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN seal of narrators and commentators used for Shah Abdul Azeez. Hadiyyatul Shi’ah, p. 4 26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH seal of bodily creatures used for the human being. Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt 27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. Al Rasaail Naadirah, p. 30 28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1 29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul Asqalaani. Tabqaatul Madlaseen, title page 30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators used for Maulvi Muhammad Qaasim. Israare Quraani, title page 31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators used for Imam Siyotee. Hadiyyatul Shee’ah, p. 210 32. KHATAM-AL-HUKKAAM seal of rulers used for kings. Hujjatul Islam, p. 35 33. KHATAM-AL-KAAMILEEN seal of the perfect used for the Holy Prophet pbuh. Hujjatul Islam, p. 35 34. KHATAM-AL-MARAATAB seal of statuses for status of humanity. ’Ilmul Kitaab, p. 140 We have the “highest, not “last” status. 35. KHATAM-AL-KAMAALAAT seal of miracles for the Holy Prophet pbuh. ibid, p. 140 36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH seal of mystics of the nation for Jesus peace be on him. Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184 37. KHATAM-AL-AUSIYAA seal of advisers for Hazrat Ali Minar Al Hudaa, p. 106 38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN seal of teachers/scholars used for the Holy Prophetpbuh. Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet pbuh, but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”. 39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Al Shaikhul Sadooq. Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh 40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99 Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini 1. “Katakanlah bahwa beliau Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi. 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu tidak ada Nabi sesudahnya” Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, 3. Rasulullah adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani. 4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i kenabian yang pakai syariat, maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73. Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis “Inilah arti dari sabda Rasulullah “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3 Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85. 5. Mulla Ali Al-Qari berkata “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .Maudhuat Kabir, halaman 59. 6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …Iqtirabussa’ ah, halaman 162. 7. Imam Sya’rani berkata”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42. 8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW khaatamannabiyyin” …..Al- Insanul Kamil halaman 66. 9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. Tafhimati Ilahiyah, halaman 53. 10. Imam Suyuti berkata “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia Isa yang dijanjikan sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426. 11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani berkata “Dan sabda Nabi “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.” Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42. 12. Imam Thahir Al Gujrati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85. 13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau dan bukan ummati beliau Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69. 14. Peristiwa wafatnya Ibrahim putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah tercatat sebagai berikut Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511.Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya. 15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh Mujaddid abad IX menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu. Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf 1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin “Dengannya Rasulullah saw telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”. 2. Abu Ubaidah wafat 209 H ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”. 3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi wafat 339 H dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”. 4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an al ahzab 40, maka artinya “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”. 5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at tentang Khaatam Al Nabiyyin “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memasukkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”. 6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”. 7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”. 8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani menulis ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. Taqribul Muram, jld 2, hal 233. 9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i pembawa Syariat telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” Fushushul Hakam, hal 140-141. Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 ” Berkata ia Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada Nabi maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”. 10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. Takmilah Majma’il Bihar, hal 85. 11. Siti Aisyah bersabda “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, 12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani Wafat 976H menulis “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i yg membawa syariat yg telah tutup”. Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2, Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian jenis apapun bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa 1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi tersempurna yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw. 2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam. 3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau Beliau saw penutup Kenabian Syar’i. 4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup. 5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya.
ZimfgN.
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/59
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/112
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/356
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/346
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/266
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/94
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/5
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/282
  • y3cz6ivs9k.pages.dev/161
  • arti dari khataman nabiyyin adalah